Popular Post

Popular Posts

Blog Archive

Followers

Posted by : Unknown Kamis, 24 Mei 2012

PERILAKU diskriminasi berarti pembedaan perlakuan terhadap seseorang atau kelompok masyarakat. Atau melihat yang satu lebih tinggi atau penting dari yang lainnya.



Dalam sebuah masyarakat yang diskriminatif mudah timbul perpecahan. Kesetaraan tidak mendapat tempat. Jadi, jangan harap pepatah lama yang mengatakan "duduk sama rendah berdiri sama tinggi" berlaku.

Perilaku diskriminatif bisa tumbuh di mana-mana, termasuk di sekolah dan di keluarga. Diskriminasi dalam ruang domestik sudah banyak dibicarakan yang telah menimbulkan gerakan sosial secara luas. Namun, diskriminasi di sekolah masih malu-malu dibicarakan, bahkan ada pembiaran secara tak sengaja. Misalnya, diskriminasi mata pelajaran hingga ujungnya menimbulkan diskriminasi makin luas.

Ada siswa yang mengatakan mata pelajaran tertentu lebih penting daripada yang lainnya sehingga ada guru yang merasa lebih penting dari guru lainnya karena mata pelajaran yang dipegangnya. Selanjutnya, ada anak-anak yang disebut pintar dan bodoh karena maju di mata pelajaran tertentu. Akhirnya kebijakan sekolah yang kurang memberikan potensi siswa, guru dan sekolah, berkembang secara adil dapat kian mendorong tumbuhnya diskriminatif.

Jika sejak dini di sekolah dan kaum terpelajar menjadi diskriminatif, mereka akan mudah tumbuh menjadi anggota masyarakat yang diskriminatif, pelayan masyarakat yang diskriminatif serta membuat peraturan yang diskriminatif.



Melawan atau Menunggu

Sebagian orang setuju jika Ujian Nasional (UN) dianggap menimbulkan diskriminatif. Guru-guru sejarah beberapa waktu lalu yang berkumpul di Jakarta membuat pernyataan bahwa pelajar tidak tertarik pelajaran sejarah karena pelajaran sejarah tidak termasuk UN.

Catatan keluhan terhadap UN akan makin panjang. Pendek kata UN sebagai kambing hitam tumbuhnya sikap diskrimantif pelajaran. Padahal, banyak juga guru mengeluh bahwa partisipasi dan motivasi siswa rendah walau mengikuti pelajaran untuk UN.

Dengan fakta tadi, masalah diskriminasi di sekolah erat kaitannya dengan sikap menyerah dan gemar mencari kambing hitam. Ini semacam sikap bunuh diri karena menyerah pada cara pandang umum yang menerima diri didiskriminasi oleh keadaan. Padahal fakta UN bisa diterima sebagai "berkah" karena ada ruang lebih bebas melakukan eksplorasi, eksperimen dalam pembelajaran tanpa beban semacam kejar-tayang bagi guru mata pelajaran yang tidak UN.

Mungkin ini dapat disebut sebuah perlawanan kreatif di ruang sempit bernama kelas sehingga kreativitas tidak berada di ruang tunggu untuk minta dan menunggu pemerintah menambah mata pelajaran untuk di-UN-kan.

Mengaggap UN sebagai berkah sulit terjadi karena lebih menuntut perubahan kebijakan pemerintah yang hingga kini UN dalam posisi pro-kontra daripada pilihan meningkatkan SDM. Apalagi lingkungan yang menyerahkan urusan masa depan anak pada sekolah sehingga hobi dan perhatian anak-anak di luar mata pelajaran dianggap semacam ancaman. Padahal, banyak orang yang berhasil dimulai dari hobi yang kurang mendapat sentuhan pendidikan waktu di sekolah.



Mulai dari Rumah

Jika pandangan terhadap semua kegiatan dan mata pelajaran mendapat perhatian yang sama sejak dini di rumah, maka anak-anak di sekolah tak mudah digiring untuk mudah diskriminatif terhadap pelajaran tertentu. Para orangtua tidak melarang anaknya baca novel, menulis cerpen, dan lain-lain.

Belakangan ini makin sedikit siswa tumbuh diskriminatif terhadap mata pelajaran, pengetahuan dan bidang pekerjaan karena anak-anak mendapat pemahaman lebih luas sejak dini di lingkungan keluarganya. Di samping itu karena makin terbukanya bidang pekerjaan untuk mengembangkan keunggulan diri.

Makin banyak orang yang tidak tergantung status sosialnya pada jenis pekerjaan seperti dulu. Media massa semacam televisi ikut meluaskan wawasan orang tentang sebuah pekerjaan sehingga makin banyak orang percaya diri jika seseorang memiliki keuletan

- Copyright © 2013 Welcome to my blog - Kurumi Tokisaki - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -